My 16th

            Entah apa yang terjadi pagi ini. Mungkin matahari sedang malas-malasnya  menampakkan diri. Atau awan yang terlalu angkuh untuk menutupinya. Yang jelas udara terasa begitu dingin. Sedingin diriku saat ini. Burung-burung yang biasanya cerewet dengan kicauannya, pagi ini bungkam. Tidak ada kata yang bisa menggambarkan pagi ini dan pagi-pagi sebelumnya dan pagi-pagi sesudahnya, selain kesenduan.
            Kemalasan untuk bangkit menyergapku. Tapi kupikir ini bukan malas seperti biasa. Bukan malas seorang siswa untuk belajar. Bukanlah juga malas bangun pagi ketika hari Minggu. Tapi ini lebih pada rasa takut. Takut akan hari yang baru. Takut akan apa yang akan terjadi selanjutnya. Takut jika aku berada di lain dunia yang tidak bermatahari. Takut akan kesunyian dan kehampaan yang akan menjemputku tak lama lagi.
            “Joy, apa kamu sudah bangun, Sayang?”
            Itu suara ibuku. Suara yang tiap pagi aku ingin dengarkan. Aku pasti akan merindukan suara malaikatnya suatu saat nanti.
            “Morning, Dear!” seru ibuku ketika membuka pintu kamarku. Ia memberikan ciuman selamat pagi di keningku. Aku hanya diam. Ibuku membaringkan tubuhku yang lemas ini di belakang tubuhnya. Ia menggendongku. Layaknya aku masih anak kecil.
           Ia memandikanku dengan telaten. Senyumnya begitu menyakitiku ketika aku tau aku akan pergi. Ia mengambilkan pakaian untukku. Kali ini dress selutut berwarna peach.
            Memangnya ada apa hari ini? hari apa ini? tanggal berapa ini? bulan apa ini? tahun berapa ini? Aku sudah tidak menghitung hari lagi, entah sudah berapa lama. Sering aku ingin bertanya tanggal berapa ini, tetapi itu sungguh menyesakkan. Aku tak punya cukup suara untuk dikeluarkan. Ketika aku membuka mulutku, hanya angin yang keluar dari kerongkonganku. Aku bahkan sudah lupa bagaimana cara memanja dan merengek meminta sesuatu. Aku sudah tidak ingat lagi kapan terakhir kali aku berdebat dengan orang tuaku dan apa yang kami perdebatkan.
            Ibuku menyisir rambutku yang panjang dan lurus. Yang entah sejak kapan tidak kusentuh dengan tanganku sendiri. Pagi ini ia juga mendandaniku. Aku lihat warna-warna natural dalam palet di genggamannya. Make up ini kering dan asing ketika menyentuh kulitku yang dingin. Lip balm yang juga berwarna peach berharap bisa melembabkan bibir pucatku.
            Ibu membawaku kedepan cermin besar yang ada di tengah-tengah ruang tamu. Kulihat siapa di dalam cermin itu. Ia cantik, wajahnya nyaris sempurna. Ia terduduk diatas kursi yang menopang hidupnya bertahun-tahun ini. Tubuhnya kurus dan putih pucat. Namun sebentar lagi wajah rupawan itu tak kan ada lagi. Ia hanya akan meninggalkan kenangan untuk orang yang menyayanginya. Ia adalah aku.
            Ibuku duduk menghadap kursi rias. Wajahnya keriput, lebih tua 10 tahun dari umur sebenarnya. Matanya berkantung. Nampak sekali ia lelah. Ia lelah menghadapiku. Mungkin ia juga lelah menggendongku tiap pagi.
            Aku membenci apa yang sudah terjadi padaku. Aku membenci penyakit ini.
            Kuingat beberapa waktu lalu, kupikir beberapa tahun lalu. Aku terus mengeluh pergelangan kaki kananku sakit. Benar-benar sakit. Hingga beberapa waktu kemudian aku tak sengaja mendengar percakapan ibu dengan dokter tampan itu. Aku divonis mengidap kanker tulang.
            Aku juga ingat dokter pernah menawarkan amputasi dari lutut kebawah. Itu ketika kanker menyebalkan ini menyebar. Tapi aku dan ibuku tak mau. Aku tidak ingin diolok-olok teman-temanku karena tak punya kaki. Sedangkan ibuku tidak ingin kelak jika aku meninggal nanti aku tidak dikubur dengan organ yang lengkap. Dokter bilang itu hanya satu-satunya cara agar aku sembuh, tapi itu juga tidak menjamin aku akan sembuh. Hanya 50% bilangnya saat itu.
“Kamu akan sembuh, Sayang,” seingatku ibu sering mengucap itu.
            Tapi apa yang terjadi? Aku tak kunjung sembuh. Aku semakin lemah dan tak berdaya. Aku semakin kacau. Penyakit itu merenggut masa depanku, mengambil paksa senyum remajaku. Penyakit itu juga yang bertanggung jawab akan keriput di wajah ibuku. Aku menangis berhari-hari menatapi masa depanku. Kelabu itu bahkan sudah jelas terlihat dari waktuku sekarang.
            Salahkan aku yang pernah menyalahkan Tuhan. Salahkan aku yang tak bersyukur akan hidup ini. Salahkan aku yang terus merutuki takdir untukku.
            Tuhan, apa ini bentuk keadilanmu? Apakah aku orang yang beruntung mendapat semua ini? Apa menurutMu ini tidak terlalu berat untukku?
            Percuma aku meronta dan berteriak jika aku bisa. Percuma aku menyalahkan semua orang yang ada disekitarku. Percuma jika aku harus marah. Tak peduli berapa banyak air mata yang kukeluarkan, semua ini pasti akan terjadi.
            Aku menatap cermin didepanku. Deru nafasku sudah tidak teratur lagi. Mungkin karena takut, mungkin pula karena marah. Entahlah. Kulihat sesuatu yang berkilau disudut mataku. Dengan cepat aku mengedipkan mataku untuk menghilangkannya. Aku tak mau menambah ibuku lebih lelah.
            Ibu selesai berdandan. Ia memakai kemeja formal berwarna coklat lembut. Baru kali ini kulihat ibu memakai high heels setelah sekian lama.
            Ibuku cantik. Ibuku cantik. Ibuku cantik.
            Ibu mendorong kursi rodaku keluar. Didepan rumah sudah ada Ayah dan Arini, adikku. Ayah menggendongku masuk ke mobil silver mewah itu. Aku tidak tau itu mobil siapa.
            “Kau tau apa yang kupikirkan hari ini?”tanya Arini.
            Aku menggeleng kecil. “Kau cantik. Ibu cantik. Ayah tampan. Dan aku imut,”katanya.
            Entah mengapa pujian itu terasa begitu hambar untukku. Rasanya aku takkan mendapatkannya lagi.
            Aku melihat ruangan penuh dengan kilau silver didepan mataku. Penuh dengan mawar merah disana sini. Apa ini spesial untukku? Aku tersenyum.
            Ayah membawakanku kue dengan banyak lilin berwarna warni diatasnya. Memangnya aku ulang tahun keberapa? Ah, ternyata aku sudah 16 tahun di dunia ini. Aku tau dari angka yang tertulis diatas kueku.
            Tidak, kenapa kepalaku begitu sakit? dadaku terasa sesak. Seluruh tubuhku tiba-tiba nyeri.
            Mereka menyanyikan lagu ulang tahun dengan hebohnya. Sungguh aku rindu sekali ingin seperti ini, sama ketika aku kecil dulu. Sama ketika Arini kecil dulu.
            “Selamat ulang tahun, Sayang.”
            “Happy Birthday, Kakak cantik.”
            “Kamu hebat, Lucy.” Ucapan Ayah seketika memberiku semangat. Semakin aku bersemangat semakin sakit yang menjalari diriku.
            “Maaf, aku terlambat,Sayang,” kata laki-laki yang baru saja datang. Ia terengah-engah. Dean, kakak laki-lakiku. Kupikir ia baru pulang dari Jepang untukku. Aku (mencoba) tersenyum lebih lebar. Namun sepertinya tidak bisa. Semoga mereka semua bisa melihat sorot mataku yang bahagia hari ini.
            “Make a wish, Dear,”kata Kak Dean.
            Aku berfikir sejenak apa permohonanku.
            Pantaskah aku masih memohon pada Tuhan setelah aku menyalahkannya? Jika bisa, aku ingin menarik ucapanku waktu itu. Sungguh aku bersyukur akan hidup ini. sungguh aku bersyukur mempunyai keluarga yang sayang padaku. Yang tak pernah meninggalku sendirian barang semenitpun. Yang selalu memikirkanku sebagai prioritas utama mereka.
            Aku memejamkan mataku.
            Ya Tuhan, aku tidak berharap Engkau menyembuhkanku. Hilangkanlah keriput dan kantung mata ibuku. Hilangkanlah kegelisahan Ayahku. Biarkanlah kegembiraan pada kakakku. Biarlah adikku tertawa. Bawalah kebahagiaan pada keluargaku. Ukirlah senyuman di bibir mereka. Hapuslah tiap air mata di pipinya. Janganlah Engkau biarkan mereka lelah kembali. Katakan pada mereka jangan menangis lagi. Ijinkanlah mereka mengingatku. Dan ampunilah aku.
            Aku membuka mataku dan bersiap meniup. Namun mereka juga meniup lilin yang banyak itu. Lilin mati seketika setelah  kami menghembuskan nafas kuat bersama-sama.
            Nyeri ini menjadi berkali-kali lipat. Tak pernah aku merasakan sesuatu yang sesakit ini. apakah ini akhir yang aku selalu penasaran?
            Ya Tuhan, jika aku boleh meminta sekali lagi, aku ingin sakit ini berakhir secepatnya. Secepat yang bisa kudapatkan.
            Tiap detik terasa lebih sakit. Tubuh ini rasanya lebih lemas dari biasa. Kulihat banyak kunang-kunang berkeliaran didepanku. Mata ini seolah dimanjakan untuk segera ditutup.
            Aku merasa tubuhku sudah ringan. Tak ada rasa sakit lagi. Aku yakin aku sudah tidak akan merasakan rasa sakit lagi.
            Terima kasih Tuhan, Engkau sudah mengabulkan permintaan terakhirku.
-END-
catqs

5 thoughts on “My 16th

Leave a reply to nov Cancel reply