Kereta Ekonomi

“Maaf Mas, toiletnya kosong?”

“Oh kosong mbak,” jawabnya sambil menyingkir pelan dari pintu toilet dengan senyum yang… Ah, indah!

Ternyata senyum itu menular ketika mendapati ada lengkungan di bibir saya dari dalam cermin saat sedang membenahi kerudung.

Sekembalinya saya, pemilik senyum indah itu sudah duduk di depan kursi saya. Saya menggigit bibir bawah, menahan-nahan agar senyum ini tak lepas begitu saja.

“Turun di mana, mbak?”

“Di Gubeng, Mas. Masnya?”

“Sama. Kuliah mbak?” Saya mengangguk.

“Jurusan?”

“Teknik kimia.”

“ITS ya? Saya kira Unair lho mbak tadi. Semester berapa?”

“Baru 6, Mas. Kalau Masnya sendiri kerja atau kuliah?”

“Saya sudah kerja, Mbak. Di LH.”

“Dulu kuliah dimana?”

“Teknik Lingkungan Unair.”

Lalu aku hanya ber’oh’ menanggapi obrolan basa-basi yang akan segera berakhir ini. Sebenarnya saya sudah kehabisan topik untuk berbasa-basi. Konsentrasi saya sudah dikacaukan oleh senyumnya. Hingga ibu dari kampung menelepon saya.

“Sudah pulang, Buk… Ini di kereta… Kalau butuh uang nanti aku transfer… Masih ada kok walaupun beasiswa belum turun…”

Dari sudut mata saya sempat menangkap bahwa orang di depan saya ini menoleh sekilas lalu tersenyum. Entah oleh apa. Entah oleh siapa. Oh tolong, tolong, senyumnya tolong dikondisikan.

“Nggak butuh cepat toh?… Besok kalau sempat ya, kalau nggak sempat ya lusa… Iyaaa Ibuk… Salam buat adek ya, bilang jangan belajar terus… Waalaikumsalam.” Sambungan diputus dari seberang sana.

“Mbak bidikmisi juga?”

Suara dari orang di depan saya itu membuat saya sontak menoleh padanya. “Eh, iya.”

“Belum naik ya per bulannya?”

“Boro-boro naik mas, uang turun saja sudah alhamdulillah,”jawabku sambil tertawa kecil.

“Kasihan ya yang sekarang, dapatnya sama tapi harga apa-apa naik.”

Beasiswa membawa kami ke obrolan-obrolan lain. Mulai dari beberapa tahun lalu harga nasi plus tempe plus telur plus sayur yang hanya 4000. Kalau sekarang sih 4000 hanya dapat nasinya saja. Hingga saya bisa tahu darimana ia berasal dan di daerah mana ia tinggal sekarang.

Sesekali ia melempar senyum indah dan dengan senang hati saya balas.

Ramah.
Pekerja keras.
Sederhana.
Kharismatik.
Begitulah penilaian sepihak yang saya berikan untuknya hanya dalam beberapa menit.

Kami memecah keheningan di setiap detiknya. Terkadang menarik perhatian penumpang sekitar yang sepertinya tidak familiar dengan dunia perkuliahan. Wajar saja, penumpang disini banyak dari orang-orang kecil yang kebetulan stasiun dekat rumahnya disinggahi kereta.

“Ya jangan dibandingkan to Mbak, ekonomi yang bayar dikit harus ngalah sama yang eksekutif,”katanya ketika saya menceritakan bagaimana saya pulang kampung naik kereta. Surabaya-Madiun hanya 2 jam dengan Argo Wilis. Sedangkan Surabaya-Kediri yang notabene jaraknya lebih dekat bisa 5 jam perjalanan.

Satu per satu stasiun disinggahi. Satu per satu pemilik kursi berganti. Hingga mbak penggendong anak manis di sampingku harus merelakan tempatnya untuk bapak-bapak paruh baya. Pun begitu dengan pemilik senyum indah itu. Ia harus berdiri agar pemuda lain yang memiliki kursi bisa duduk tenang. Ia melangkah ke tengah gerbong, menatap sekeliling, lalu kembali lagi.

“Mbak, di kursi nomor 5 kosong kayaknya,” ucapnya pada mbak penggendong anak tadi. Meskipun si Mbak tidak mau karena jauh dengan bawaannya. Kalau anaknya rewel ribet, katanya. Saya pun tersenyum.

Sekitar 2 stasiun terlewati hingga akhirnya saya perlu untuk ke toilet lagi. Si mbak ternyata berdiri di dekat pintu toilet, tempat pertama kali saya melihat senyum indah itu. Gadis manis dalam gendongaannya terlihat mengantuk.

“Mbak, duduk saja di tempatku. Kasihan anaknya kalau berdiri,”tawarku

“Nggak usah mbak. Sebentar lagi sampai kok,”tolaknya halus.

“Adek mau duduk sama aku?” kali ini saya bertanya pada gadis-manis-dalam-gendongan.

“Nggak usah mbak. Nggak apa-apa kok,” jawab si Mbak.

Meskipun si Mbak yang menolak, saya tetap merasa bersalah. Kursi yang saya tempati jelas-jelas bertuliskan, “Kursi ini dapat ditukar dengan kondisi: perempuan hamil, lansia, cacat, dan menggendong anak.” Saya berandai-andai jika seorang pemuda yang menawarkan tempat duduk pasti akan ia terima. Ah, dimana nalurimu pemuda?

“Mbaknya nggak mau, Mbak?” tanya sang-pemilik-senyum-indah. Sepertinya sedari tadi ia memperhatikan saya dengan si Mbak. Memahami maksud pertanyaannya, saya menggeleng dan kembali ke kursi. Saat saya meletakkan tubuhku di sandaran dan tak sengaja melihatnya, ia tersenyum lagi! Sungguh, nikmat mana yang engkau dustakan…

Kali ini banyak stasiun terlewati dengan kami sibuk dengan pikiran kami masing-masing. Tak nyaman jika mengobrol dimana aku duduk dan ia berdiri, pun berjarak dua orang lain, sehingga kami memilih diam.

Akhirnya kami saling bergeming. Berfokus pada ponsel masing-masing. Beberapa kali saya menatap jendela kereta demi mencuri pandang dan menikmati pantulannya yang sedang berdiri bersandar. Sesekali saya menemukannya melihat dari kaca yang sama. Sesekali saat menoleh kearahnya kami bertemu pandang. Sesekali saya memergokinya tersenyum. Senyumnya selalu indah!

Sungguh ia tidak rupawan. Tidak manis. Tapi tidak jelek juga. Wajahnya benar-benar biasa saja, sangat manusiawi. Namun sungguh ada yang berbeda dari caranya menyunggingkan senyum. Aku tidak bisa menjelaskannya.

“Nanti dijemput, Mbak?” tanyanya ketika kursi di depan saya kosong kembali dan ia duduk di sana.

“Enggak.”

Lalu tangannya menunjuk. Ketika saya ikuti arahnya dan melihat keluar jendela, hanya deretan rel berjajar rapi dan beberapa orang yang berkumpul ramai. Juga ada beberapa warung kopi. Atau beberapa orang yang duduk-duduk santai di atas rel.

“Tau?”

“Enggak,” jawabku polos.

“Nanti saja saya ceritakan.”

Saat ini posisi saya ada di Stasiun Wonokromo. Stasiun terakhir sebelum pemberhentian tujuan saya, Gubeng.

“Mbak nggak dijemput berarti bawa motor?”

“Enggak juga.”

“Terus?”

“Gojek mungkin.”

“Nggak minta jemput teman gitu?”

“Enggak.”

Ia terlihat tak percaya. Sedikit. “Memangnya nggak punya teman?”

“Ada banyak. Tapi tidak enak kalau merepotkan orang, Mas. Kalau bisa sendiri kenapa tidak?”

“Cewek emang gitu ya?” Ia menggeleng-gelengkan kepala. “Kalau cowok sih santai, tinggal telpon saja. Gantian sama temannya saja mbak, nanti mbak yang jemput temannya.”

“Teman saya banyak yang pulang ke Jakarta, Mas, jadi jarang pulang. Lagipula saya terlalu malas untuk antar jemput ke bandara.” Saya terkekeh, ia pun juga.

Saya ikut tersenyum menikmati untaian senyumnya yang bertubi-tubi sebelum berakhir dalam beberapa menit lagi.

Ia menunjuk lagi ke arah luar ketika kereta mulai beranjak dari Wonokromo. Pemandangan yang sama seperti sebelumnya. Semuanya terasa normal kecuali keramaian itu terjadi ketika masuk jam 11 malam dan di tempat yang tidak wajar.

“Tau?”

“Sekarang iya,” saya menjawab sambil tersenyum jijik.

Tak berapa lama kami menjejakkan kaki di stasiun Gubeng. Perjalanan melelahkan untuknya karena harus berdiri. Perjalanan nyaman untuk saya karena bisa menikmati senyumnya.

Ia berjalan mensejajari. “Pernah pagi-pagi saya monitoring di daerah sana tadi mbak, sampahnya bukan sampah pada umumnya. Sampah sisa aktivitas remang-remang mereka semalaman.” Ia menjelaskan sementara saya bergidik.

“Berarti seminggu lalu saya nekat ya jam 3 pagi ke Wonokromo sendirian.”

“Hati-hati saja mbak kalau lewat daerah situ. Apalagi cewek kan.”

Hiruk pikuk tukang ojek menawarkan jasa ketika kami ada di pintu keluar stasiun. Ia menyapu pandangan berkeliling. Mencari-cari teman yang dipastikan akan menjemput dan membawanya pulang.

“Mas, saya duluan ya! Harus ke Sahid buat nunggu gojek.”

“Iya, Mbak. Hati-hati ya.” Ia menyunggingkan senyum terakhir yang bisa kulihat.

Lalu kisah dengan si pemilik senyum indah selesai sejauh perjalanan Kediri – Surabaya.

April, 2017


Leave a comment