Sebuket Bunga Wisuda

“Mas, minggu depan aku wisuda. Jadi fotograferku ya? Kan lumayan tuh nanti di posting Instagramku ada caption Taken by: @NathaNathan. Kali aja nanti temen-temen aku dari jurusan lain minat sama Mas jadi fotografernya. Mau ya Mas?”

Aku sudah mengeluarkan jurus puppy eyes termanis, namun tak ada jawaban. “Mas?”

“Hmm…”

Aku menghela nafas. “MAS! Dengerin aku nggak sih?”

“Bentar-bentar. Kurang dikit lagi nih,”ucapnya sambil memiringkan badannya mengikuti liuk-liuk arena balapan virtual di layar komputernya.

“Kotak di bagian bawah meja apasih namanya, stavolt ya? Tombol oranyenya lucu deh. Aku pencet ya?”

“Jangan!” Dengan sigapnya ia menghalangi tanganku yang sudah terulur. Pandangannya melunak, kali ini giliran ia yang mengeluarkan puppy eyes sambil mengerucutkan bibir. “Jangan dipencet ya, pleaseeeee….”

Aku memutar mata karena jengah. Aku batalkan niatku isengku. “Astaga, Mas. Ingat umur udah 27 plus plus, nggak cocok bikin muka sok imut. Kelakuan kayak anak kecil gitu, pantes sampai sekarang jomblo.”

“Tuh di depanmu ada kaca gede. Ngaca ya,”

Tak menghiraukan ucapannya, aku melemparkan diriku ke atas spring bed ukuran single yang baru ia beli. Beli kasur saja yang senasib seperti dirinya, sama-sama single. Aku berdecak dalam hati.

“Dek?”

“Hmm.”

“Aku jadi kepikiran, iya ya apa aku terlalu kekanak-kanakan ya sampai nggak ada yang mau? Atau aku terlalu brengsek ya? Ah, enggak. Terakhir pacaran aja 4 tahun lalu sama temenmu itu. Putus juga gara-gara diselingkuhi. Semua cewek yang aku deketin ternyata nggak bener semua, sekalinya bener dia udah siap nikah. Gimana menurutmu, Dek? Dek?”

Meskipun aku simpatik dengannya, sama sekali tak ku hiraukan ocehannya. Aku malah mengambil posisi wajar lalu berpura-pura tidur. Huh, rasakan karma itu ada. Bahkan untuk hal seremeh mengabaikan orang berbicara sekalipun.

***

Aku sibuk bercengkrama dengan adik-adik tingkatku yang dulu pernah aku bimbing. Mereka memberiku beberapa toples coklat wisuda. Beberapa hari sebelumnya aku sudah bilang kalau aku tidak mau diberi bunga. Indah, tapi cuma beberapa hari, setelah itu layu, mati, dan dibuang. Lebih baik sesuatu yang awet, atau setidaknya bisa dimakan agar tidak sia-sia dalam waktu cepat.

Hingga sebuah suara menyapaku tepat setelah adik-adikku bubar untuk menyalami senior yang lain. “Hai, Ra.”

“Oh, hai, Aris!”

Congrats ya udah wisuda,” ucapnya.

Aku menaikkan alis dan menatapnya, “Kita wisuda di hari yang sama kali, Ris. Congrats juga atas gelar cumlaudenya. Not too surprised you get that honour.”

Ia tersenyum lalu memberikan sebuket bunga dengan pita yang digantungi botol kecil. “Aku kok nggak tau kalau ada acara tukar kado di acara syukuran wisuda ini?”ucapku mengernyit.

“Emang nggak ada kok. Cuma pengen aja ngasih ke kamu. Tanda terima kasih sudah banyak bantu empat tahun ini,” jelasnya.

Aroma khas mawar menyeruak ketika aku mendekatkan bunga itu ke dekat hidung. Setelah melihat lebih dekat, rupanya itu bunga dari kain dan plastik. Aku baru menyadari botol kecil yang tergantung adalah parfum. Jadi ketika bau semerbaknya hilang, tinggal disemprot ulang. Hadiahnya unik. Bunga, tetapi indahnya dan harumnya awet.

Thanks, anyway. Sorry aku nggak kepikiran buat bawa sesuatu hari ini. Lain kali aku kasih sesuatu juga sebagai balasan ya.”

“Nggak bisa, Ra,”balasnya cepat.

Aku mengernyit. Matanya berubah menjadi campuran bahagia dan sendu. “Kenapa?”

“Mungkin ini terakhir kali kita ketemu. Minggu depan aku mau ke Aussie buat S-2. Katanya kamu juga udah diterima di PT. Adora Kimia ya?”

Aku mendesah. “Ah, iya ya. Nanti kamu kasih tau alamatmu di Aussie aja, nanti aku kirim pakai DHL.” Kemudian aku terkekeh sendiri.

“Segitu pengennya ya buat ngasih hadiah ke aku?”

“Ya ampun, Aris. Kalau kamu merasa aku banyak bantu kamu, aku pasti lebih dari itu. Kalau nggak ada kamu, penelitian aku nggak bakal jalan, nilai komputasi, thermo I II III, desain, dan mekanika fluidaku udah pasti E,” kataku antusias. Bahkan aku hampir membuka ijazah yang masih dalam tas di genggamanku.

“Tapi aku terima kasihnya bukan buat bantuan akademik,” ucapnya lugas.

Aku mengernyit. Mencoba mengingat-ingat kebaikan apa yang sudah aku lakukan sampai-sampai mendapat tanda terima kasih dari Aris yang notabene adalah orang cerdas namun cuek. Ia bukan orang yang peduli terhadap hal-hal remeh seperti menyimpan kertas kuis, mengucapkan ulang tahun, atau memberi hadiah seperti ini.

“Lalu?”

“Karena tulisan-tulisan kamu di blog.”

Aku tak bisa menahan diriku untuk melepas tawa. “Jadi kamu seleranya baca tulisan-tulisan receh dan alay ya?”

“Mungkin iya. Tapi aku bisa melihat kalau kamu jujur di tulisan-tulisan kamu. Semua selalu kamu tuliskan dari sudut pandang berbeda. Membuatku belajar kalau perfect is in imperfection itself.”

Aku menganga. Tidak pernah menyangka ternyata tulisan yang  bukan karya jurnalistik dan tidak sarat akan sastra itu bisa mempengaruhi orang. Bahkan seringkali aku menganggap curhatan randomku di blog itu hanya tulisan sampah.

“Kamu tahu, Ra, definisi cinta dan kebahagiaan versi blog kamu itu mengubah hidup aku banget. Alih-alih mendekati orang yang aku suka dan mencari kebahagiaan dengannya, aku lebih memilih mengagumi dari jauh dan mencari kebahagiaanku sendiri. Aku berjuang untuk dapat prestasi, mengasah softskill organisasi, sampai ikut banyak kegiatan sosial. Aku harap kelak nanti aku pantas bersanding dengannya.”

Aku menatapnya kagum. Tidak percaya orang yang selama ini kecerdasan dan attitudenya sangat aku kagumi, ternyata bisa terinspirasi dariku yang hanya sebutir debu ini. Aku sangat mengapresiasi dengan perjuangannya untuk mendapatkan wanita yang ia suka. Meskipun perjuangan itu dengan cara yang berbeda, tidak sama seperti kebanyakan laki-laki jaman sekarang. Semua orang punya perjuangan masing-masing, kan? Tidak bisa dibandingkan apalagi digunjingkan.

“Tapi sepertinya orang itu sudah bahagia dengan jalan hidupnya. Mungkin dia sudah punya pilihan lain yang memang sudah pantas mendampinginya. Dia memang layak mendapatkan yang terbaik.”

Tatapannya sarat akan kesedihan. Selama 4 tahun berteman dengannya, baru pertama kali dia bercerita seperti ini. Ia tidak terlihat seperti Aris yang humoris dan karismatik. Patah hati memang sesakit itu. Sama seperti yang aku rasakan saat ia bercerita tentang wanita pujaannya itu.

“Orang itu kamu.”

Ucapannya barusan membuatku melongo. Seluruh otot-otot tubuhku rasanya melemas. Saraf-saraf otak sepertinya sudah buyar entah bagaimana bentuknya. Kupu-kupu seolah menari-nari di dalam perut. Benar-benar tak tau dan tak mampu harus berkata apa

“Kamu kemana aja, Ra? Aku cari dari tadi.” Mas Natha menghampiriku dan dengan sigap mengambil tas berisi coklat dan ijazah yang sedari tadi aku pegang. Menyadarkanku dari kekagetanku.

Aku melihat Aris lagi. Hendak aku membuka mulut lagi namun ia lebih dulu berbicara. “Pendamping wisuda ya, Ra? Semoga kamu bahagia ya.”

Lalu aku saling pandang dengan Mas Natha kemudian tertawa. Sementara Aris hanya mengernyit bingung.

***

Baca kelanjutan kisahnya Sebingkai Pigura Angan

Leave a comment